x

Partisipasi Masyarakat di Pilkada Serentak 2020, (Harapan dan Tantangan di Tengah Pandemi Covid-19)

7 minutes reading
Sunday, 8 Nov 2020 07:11 0 384 rizaldyk

Oleh :
AMRI ABDI
Wakil Pemimpin Redaksi Media bicaraindonesia.net

Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia khususnya, mulai dari pengertian dan konsepsi demokrasi banyak mengalami perubahan, dimulai saat Kemerdekaan Indonesia, berdirinya Republik Indonesia Serikat, kemunculan fase kediktatoran Soekarno dalam Orde Lama dan Soeharto dalam Orde Baru, hingga proses konsolidasi demokrasi pasca Reformasi 1998 hingga saat ini.

Seperti, Demokrasi dalam pandangan para pendiri bangsa Indonesia, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila serta Demokrasi Era Reformasi
Pasca kemerdekaan negara Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemimpin saat itu, Soekarno dan Mohammad Hatta, secara gamblang telah mendeklarasikan Indonesia, sebagai sebuah negara yang demokratis, seperti yang teryulis pada kalimat terakhir Teks Proklamasi 17 Agustus 1945, yang berbunyi “atas nama bangsa Indonesia”.

Jika dikorelasikan dengan definisi bangsa, maka yang dimaksud dengan adalah seluruh rakyat Indonesia adalah, kemerdekaan negara Indonesia adalah milik rakyat Indonesia.
Meski konsensus kemerdekaan sebagai sebuah bangsa telah tercapai, tapi setiap tokoh yang ada Indonesia, memiliki konseps demokrasi yang berbeda-beda.

Memilih Pemimpin

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagai negara yang menganut sistem presidensiil pasti memiliki presiden, yang berperan sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
Pasca era reformasi, pemilihan umum (pemilu) tidak lagi dalam bentuk satu paket (partai yang menang pemilu berkuasa penuh), akan tetapi sudah dipecah ke dalam beberapa bentuk pemilihan, seperti, Pemilihan Legeslatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah/Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada/Pemilukada -Pilgub/Pilwalkot dan Pilbup), hingga di tingkatan Kabupaten ada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).

Sistem ini dibuat agar demokrasi dalam artian yang sebenarnya bisa berjalan, serta bagi siapapun yang terpilih pada sistem ini memiliki kekuasaan yang tetap dibatasi oleh hukum dan bisa melindungi hak-hak perorangan warga negara, yang sering diistilahkan ’kekuasaan dari dan untuk rakyat’.

Akan tetapi faktanya, hasil dari sistem pemilu terbuka ini, tidak semua bernilai positif, ada juga yang negatif. Kesempatan memimpin, sering dijadikan ajang ‘balas budi’ dan jadi ajang ‘korupsi berjamaah’. Bahkan tak jarang, terjadi konflik horizontal, kubu yang kalah, sering kali tak terima dengan hasil yang didapat.

Tinggal sekitar 30 hari lagi, kita akan kembali merayakan pesta demokrasi, untuk memilih pemimpin yang akan menjadi nakhoda di beberapa daerah. Sesuai data, pilkada serentak tersebut akan digelar di 270 daerah, rinciannya 9 Provinsi (Pemilihan Gubernur/Pilgub), 37 Kota (Pemilihan Walikota/Pilwalkot) dan 224 Kabupaten (Pemilihan Bupati/Pilbup), dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sudah tercatat lebih kurang sebanyak 101 juta DPT. Sedangkan sesuai data yang dikumpulkan ada 105.396.460 orang untuk Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), yang nantinya ditaksir menelan biaya Rp. 9.9 Triliun.

Dari banyak sumber yang dipercaya menyebutkan bahwa, untuk jadi pemimpin di situasi saat ini, haruslah memiliki kemampuan berinovasi, punya kreativitas tinggi, dan memiliki ‘sense of crisis’ atau meminjam istilah Joseph W. Pfeifer punya keahlian dalam ‘crisis leadership’.

Strategi serta kebijakan para kepala daerah dalam mencegah persebaran Covid-19 nantinya akan mencerminkan kualitas kepemimpinannya. Kepala daerah akan melakukan langkah-langkah antisipasi dan menerapkan strateginya untuk melakukan pencegahan, agar penyebaran wabah dapat ditekan atau dihentikan.
Bagi calon kepala darah petahana (incumbent), pandemi Covid-19 adalah peluang sekaligus tantangan. Dikatakan peluang karena strategi dan kebijakan incumbent dalam menghadapi sekaligus menangani persoalan menjadi kesempatan membuktikan kompetensi serta kualitas kepemimpinannya di hadapan masyarakat.

Semakin efektif dan efisiennya strategi yang diterapkan dalam mengatasi pandemi Covid-19, maka akan semakin tinggi ‘trust’/kepercayaan dari masyarakat. Dampak positif dari suksesnya strategi dan kebijakan tersebut bukan hanya mampu menyelesaikan masalah dengan baik serta mengurangi risiko penyebaran Covid-19 dan menekan angka kematian saja, lebih dari itu, dapat meningkatkan popularitas serta memperbesar efek elektoral calon incumbent dalam kontestasi pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2020 mendatang.

Meski demikian, tantangannya juga tidak kalah berat. Calon incumbent yang tidak sukses menghadapi masalah alias gagal, tidak hanya mendapat kritikan, akan tetapi tingkat kepercayaan masyarakat menjadi berkurang. Sangat mungkin, kegagalan menjadi bahan gunjingan di masyarakat.

Memilih pemimpin tidak boleh sembarangan, harus dengan mata dan hati yang bersih tanpa iming-iming apapun. Serta mempertimbangkan sisi positif (keunggulan) dan negatif (kelemahan) pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Platform, visi dan misi, rekam jejak (‘track record’), serta program kerja harus menjadi sandaran dalam memilih. Dengan demikian pemimpin yang terpilih nantinya benar-benar memiliki kompetensi dan kualitas yang mumpuni.

Dengan terpilihnya kepala daerah (pemimpin) berkualitas, diharapkan menjadi jaminan dan cerminan masa depan dan kemajuan daerahnya. Apalagi di tengah suasana pandemi Covid-19 yang memorakporandakan seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, mulai dari aspek sosial, budaya, politik, pendidikan, pariwisata, hingga ke aspek ekonomi. Jadi kita dituntut bisa memilih pemimpin yang mampu mengatasi dampak dari pandemic, tanpa mengesampingkan pandemi itu sendiri.

Demokrasi vs Kesehatan Publik

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2020 di 270 daerah di Indonesia akan menjadi momen penting, melahirkan kepala daerah (Gubernur-wakil Gubernur, Bupati-wakil Bupati, dan Walikota-wakil Walikota) yang berkualitas. Berbeda dari pelaksanaan sebelumnya, Pilkada serentak tahun 2020 ini diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19 yang menyerang dunia, termasuk Indonesia. Aturan-aturan dalam pelaksanaan Pilkada nanti pun telah dikeluarkan, demi mencegah timbulnya lonjakan kasus baru Covid-19.

Keputusan untuk tetap menyelenggarakan Pilkada Serentak di tengah pandemi covid -19 jelas menimbulkan banyak perdebatan di tengah masyarakat, terutama di kalangan pakar dan akademisi. Keputusan untuk melaksanakan pilkada di bulan Desember 2020 dipandang tidak realistis dan penuh dengan risiko karena jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat.

Banyak kalangan berpendapat bahwa pilkada 2020, justru akan menjadi permasalahan baru, dan berpotensi menjadi klaster baru dalam penyebaran Covid-19. Hal ini ditakutkan akan menjadi serangan gelombang kedua wabah Covid-19 di Indonesia. Tidak hanya itu, Pilkada Serentak 2020 juga diprediksi akan mengalami degradasi kualitas yang disebabkan oleh turunnya angka partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat diprediksi akan menurun karena dampak pandemi, yang menimbulkan kekhawatiran dalam diri masyarakat itu sendiri.

Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 dianggap sangat penting karena dianggap untuk regenerasi kepemimpinan secara adil, bijaksana, serta sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam konstitusi.
Banyaknya masa kepemimpinan kepala daerah yang akan habis juga menjadi alasan pokok, sementara peran dan posisi dari kepala daerah sangat dibutuhkan untuk bersinergi dan berkolaborasi dengan pemerintah pusat guna mempercepat penanganan Covid-19 serta percepatan proses pemulihan pasca-Covid-19
Di sisi lain, penyebaran pandemi Covid-19 juga belum ada tanda-tanda akan mereda. Bahkan semakin lama jumlah pasien positif Covid-19 semakin meningkat.

Ini juga harus dikalkulasi dan diperhatikan dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu. Kebijakan new normal atau adaptasi kebiasaan baru yang digulirkan oleh pemerintah, bukan berarti wabah sudah hilang (selesai). Tetapi, new normal adalah aktivitas masyarakat dengan adaptasi (penyesuaian) di tengah wabah. Untuk itu, jangan sampai dengan alasan menegakkan nilai-nilai demokrasi menjadi pertaruhan keselamatan masyarakat. Rencana pilkada tidak boleh mengabaikan kesehatan masyarakat, yang jauh lebih penting.

Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 akan sangat dipengaruhi oleh kepercayaan mereka kepada penyelenggara, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal tersebut dikarenakan saat ini situasi yang dihadapi masih pada level berbahaya.

Hal ini jelas menjadi tantangan buat para penyelenggara Pilkada serentak 2020. Dibutuhkan kemandirian dan pemahaman teritorial untuk memutuskan stigma negative yang timbul akibat dari Covid-19.
Intensitas penyelenggara dalam mensosialisasikan tata cara dan perilaku pemilih ketika datang ke TPS, menjadi factor penting. Agar masyarakat yakin dan percaya serta mematuhi seluruh arahan penyelenggara (KPU/Bawaslu). Masyarakat juga butuh jaminan agar aman dari penyebaran Covid-19. Apalagi saat ini, masyarakat dihadapkan pada prioritas ekonomi, bukan politik. Dan kehadiran masyarakat di tempat pemungutan suara akan sangat dipengaruhi berbagai pertimbangan.

Selain itu, calon kepala daerah juga harus mampu mengemas ‘dagangan politiknya’ agar masyarakat memiliki keinginan yang kuat datang ke TPS untuk memilih. Larangan berkerumun yang diterapkan di era pandemi Covid-19, seharusnya membuat calon kepala daerah memiliki program kampanye yang lebih kreatif.

Calon kepala daerah harus memanfaatkan realita masyarakat digital saat ini. Keberadaan ponsel sebagai alat komunikasi di tangan pemilih, menjadi pintu masuk untuk mengenalkan diri para kandidat. Bukan sekadar update foto dan video. Melainkan mengonsep fakta empirik di lapangan, melalui video atau foto. Terbatasnya ruang sosialisasi (kampanye akbar) dan masa kampanye yang relatif singkat, juga menjadi tantangan buat calon kepala daerah, khususnya bagi para penantang petahana.

Itu sebabnya, dibutuhkan sistem kampanye kreatif di ranah digital. Agar lebih mengena, para calon harus melibatkan orang yang ahli di ranah tersebut. Di samping untuk memastikan konten terkirim dengan presisi dan terlihat oleh pemilik akun. Namun semua kampanye kreatif di ranah digital, sangat dipengaruhi infrastruktur internet di suatu wilayah. Tanpa sokongan sinyal yang mumpuni, maka kampanye digital dijamin tidak akan optimal. @

No Comments

Leave a Reply

LAINNYA
x