BICARAINDONESIA: Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman budaya yang sangat kaya. Berbagai bentuk seni, pengetahuan, dan tradisi hidup berkembang di tengah masyarakat adat, dari Sabang hingga Merauke.
Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional merupakan kekayaan tak benda yang menjadi bagian penting dari identitas bangsa.
Namun, di era modern yang penuh dengan komersialisasi dan digitalisasi, muncul pertanyaan penting: sudahkah warisan leluhur kita ini benar-benar terlindungi secara hukum, khususnya melalui sistem Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)?
HAKI dan Ketimpangannya terhadap Kekayaan Tradisional
Sistem HAKI dirancang untuk melindungi karya cipta atau penemuan secara individual, memiliki jangka waktu terbatas, dan berbasis pada pendaftaran. Ini menjadi kendala besar ketika diterapkan pada pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang umumnya bersifat kolektif, lintas generasi, dan tidak selalu memiliki satu pencipta tunggal yang dapat diklaim secara sah.
Misalnya, tari Saman dari Aceh, batik dari Jawa, hingga jamu dan pengobatan tradisional dari berbagai daerah merupakan bentuk kekayaan budaya yang hidup dalam masyarakat adat.
Namun, karena tidak terdaftar secara resmi dalam sistem HAKI, banyak dari karya tersebut diklaim atau digunakan secara sepihak oleh pihak asing. Beberapa di antaranya bahkan telah dipatenkan di luar negeri tanpa persetujuan komunitas pemilik aslinya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem HAKI konvensional belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum yang efektif untuk budaya tradisional.
Upaya Perlindungan: Sudah Ada, Tapi Belum Cukup
Pemerintah Indonesia sejatinya telah mulai merespons persoalan ini. Salah satunya adalah dengan membentuk Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum dan HAM. KIK mencakup berbagai bentuk pengetahuan tradisional, ekspresi budaya, sumber daya genetik, hingga indikasi geografis.
Selain itu, skema Indikasi Geografis (IG) juga menjadi alternatif dalam melindungi produk khas daerah yang memiliki keunikan tertentu akibat faktor alam, budaya, atau tradisi.
Contoh sukses dari IG antara lain adalah Kopi Gayo, Tenun Gringsing, dan Garam Amed Bali. Melalui IG, komunitas lokal dapat memiliki hak eksklusif untuk memproduksi dan memasarkan produk tersebut. Namun, implementasi perlindungan ini masih menghadapi banyak tantangan.
Pertama, minimnya pemahaman masyarakat adat terhadap sistem HAKI menyebabkan rendahnya angka pendaftaran kekayaan budaya mereka.
Kedua, proses administratif yang panjang dan teknis, serta terbatasnya akses ke infrastruktur hukum, membuat komunitas lokal enggan atau kesulitan melakukan pendaftaran.
Ketiga, belum adanya undang-undang khusus yang secara komprehensif mengatur perlindungan PT dan EBT sebagai hak komunal di luar sistem HAKI klasik.
Ancaman Klaim Budaya oleh Pihak Asing
Ketiadaan perlindungan formal yang kuat atas budaya tradisional membuat Indonesia rentan terhadap biopiracy dan cultural appropriation.
Dalam beberapa kasus, pihak asing mematenkan tanaman obat tradisional atau motif budaya sebagai milik mereka sendiri. Contohnya, klaim atas motif batik, paten terhadap tanaman seperti kunyit dan temulawak, hingga klaim tari Pendet dan Reog Ponorogo oleh negara tetangga. Tanpa bukti dokumentasi dan pengakuan hukum, posisi Indonesia lemah dalam menghadapi klaim semacam ini di forum internasional.
Rekomendasi dan Jalan ke Depan
Pertama, Indonesia memerlukan undang-undang khusus yang melindungi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sebagai kekayaan kolektif, tidak terbatas waktu, dan tidak tunduk pada prinsip individualitas seperti dalam sistem HAKI konvensional.
Undang-undang ini juga harus mencakup mekanisme pembagian manfaat (benefit sharing) bagi masyarakat adat bila karya mereka digunakan untuk tujuan komersial.
Kedua, negara perlu memperkuat inventarisasi digital kekayaan budaya nasional dengan melibatkan lembaga adat, akademisi, dan pemerintah daerah. Inventarisasi ini akan menjadi dasar perlindungan hukum, serta memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi budaya.
Ketiga, edukasi dan pendampingan hukum bagi komunitas lokal harus diperluas agar mereka mampu memahami hak-haknya, sekaligus bisa memanfaatkan sistem perlindungan hukum yang tersedia.
Keempat, penting bagi Indonesia untuk aktif di tingkat internasional, baik dalam forum World Intellectual Property Organization (WIPO) maupun ASEAN, untuk mendorong pembentukan sistem HAKI global yang lebih akomodatif terhadap budaya tradisional negara berkembang.
Kesimpulan
Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional adalah kekayaan bangsa yang tak ternilai dan tidak bisa diukur semata dengan nilai ekonomi. Namun dalam konteks hukum dan globalisasi, perlindungan formal menjadi penting untuk mencegah pencurian, komersialisasi sepihak, dan klaim budaya oleh pihak lain. Meskipun Indonesia telah melakukan berbagai upaya melalui KIK dan IG, perlindungan melalui HAKI belum sepenuhnya efektif dan masih membutuhkan reformasi sistem hukum serta pendekatan yang lebih komprehensif.
Tanpa langkah tegas dan terstruktur, warisan budaya kita akan terus terancam. Maka, sudah saatnya negara menjadikan perlindungan terhadap kekayaan budaya sebagai bagian dari kedaulatan hukum, ekonomi, dan identitas bangsa.
Penulis: Dadang Hardiana (Mahasiswa Magister Hukum, Universitas Al Azhar Indonesia)