x

Pertanian di Ambang Perubahan: Harapan di Tengah Keretakan

3 minutes reading
Sunday, 29 Jun 2025 17:26 0 512 Ika Lubis

Petani Menua, Lahan Menyempit hingga Petani Milenial

Saat ini, lebih dari 60% petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun (BPS, 2023). Jika kita telusuri ke pelosok desa, barang tak mudah menemukan pemuda yang mau turun kesawah. Hal ini terlihat dari banyak kaum muda yang lebih tertarik bekerja di kota daripada menggarap tanah. Hal ini merupakan sebuah ironi, sebab pertanian masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar dan tulang punggung ekonomi desa. Lebih miris lagi, lahan pertanian pun kian menyusut. Alih fungsi lahan ke sektor industri dan perumahan membuat Indonesia kehilangan ribuan hektar sawah setiap tahun. Tanpa strategi jelas, kita bisa menghadapi krisis petani—baik dari sisi jumlah orangnya maupun lahannya.

Meski situasinya genting, cahaya harapan mulai terlihat dengan munculnya gelombang baru: petani milenial. Mereka hadir bukan hanya dengan cangkul, tapi juga dengan berbagai teknologi terkemuka. Misalnya saja seperti: drone, sensor tanah, dan aplikasi pertanian yang lebih modern dan diklaim memiliki efisiensi dan presisi tinggi. Para milenialis mengolah lahan sambil membangun merek pribadi di media sosial, menjual hasil panen lewat marketplace, dan bahkan bekerjasama dengan perusahaan rintisan (start-up). Salah satu contohnya adalah Habibi Garden, startup pertanian yang mengembangkan sensor kelembaban tanah berbasis IoT. Pendiriannya, Ryo Andianto, menyebutkan, “Petani Indonesia bisa panen 2 kali lebih banyak hanya dengan pemantauandigital yang tepat.”

Food Estate, Bahaya Monokultur, dan Krisis Iklim

Mari menelusuri lebih dalam, tentu kita akan temukan jika tidak semua inisiatif pertanian berjalan sesuai harapan. Pemerintah gencar membangun food estate di beberapa daerah seperti Kalimantan Tengah dan Papua. Tujuannya mulia: swasembada pangan dan antisipasi krisis global. Tapi implementasinya menuai banyak kritik. Data dari WALHI (2023) menunjukkan bahwa proyek food estate justru membuka hutan secara besar-besaran, memicu konflik agraria, dan belum memberikan hasil produksi yang nyata. Ketergantungan pada sistem pertanian skala besar dan monokultur juga rawan gagal panen, apalagi di tengah cuaca ekstrem yang sulit diprediksi.

Kondisi iklim kini tak lagi bisa diprediksi. Banjir dan kekeringan datang silih berganti. Pola tanam yang selama ini sudah mapan menjadi kacau. Bagi petani kecil, satu musim gagal panen saja sudah cukup untuk menggerus tabungan dan memaksa mereka menjual tanah. Menurut Badan Meteorologi Dunia (WMO), Indonesia mengalami salah satu musim panas terpanas dalam 50 tahun terakhir pada 2024. Tanaman padi, hortikultura, dan palawija sangat terdampak. Artinya, kalau tidak cepat beradaptasi, kita bisa menghadapi lonjakan harga pangan seperti yang sudah mulai terasa tahun ini.

Solusi: Teknologi, Edukasi, dan Keberpihakan

Lantas, apa solusinya? Tentu tidak cukup hanya dengan alat modern. Kita perlu sistem pertanian yang lebih berkelanjutan, berbasis ekosistem, dan berpihak kepada petani kecil. Kebijakan harus berpijak pada realitas lapangan, bukan sekadar mengejar produksi besar. Edukasi pertanian berbasis teknologi perlu masuk ke pesantren, SMK, hingga komunitas desa. Petani muda harus diberi akses ke tanah, pelatihan, dan pasar. Pemerintah juga perlu mengawal agar pertanian digital tidak dimonopoli oleh perusahaan besar, melainkan benar-benar memberi nilai tambah bagi petani di pelosok.

Kita boleh bangga dengan teknologi dan ekspor. Tapi jangan lupa, nasi di piring kita datang dari sawah yang dikerjakan oleh tangan-tangan petani yang sering terlupakan. Kalau mereka rapuh, maka ketahanan pangan dan masa depan kita juga rapuh. Sudah saatnya kebijakan berpihak pada petani, bukan hanya pada investor atau angka statistik. Karena pertanian bukan sekadar soal produksi—tapi soal martabat, kedaulatan, dan keberlangsungan hidup bangsa. Hal ini yang perlu menjadi perhatian bersama demi mewujudkan stabilitas dalam lingkup pertanian.*

*Penulis: Muhammad Iqbal Abdi Lubis
Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas

LAINNYA
x