BICARAINDONESIA-Jakarta : Di balik secangkir cokelat hangat yang menggugah rasa, tersimpan rangkaian proses panjang yang dimulai dari ladang-ladang kakao di berbagai pelosok nusantara. Indonesia, sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia, menyimpan potensi besar dalam industri ini. Namun, nilai tambah komoditas ini takakan maksimal jika pengolahan pasca panennya masih tertinggal. Maka pertanyaan besarnya: metode pengolahan kakao mana yang paling tepat untuk petani dan industri di Indonesia?
Fermentasi Tradisional: Murah tapi Tidak Konsisten
Metode fermentasi tradisional menggunakan peti kayu atau karung goni masih menjadi cara yang paling umum digunakan petani. Alasannya sederhana: murah dan mudah diterapkan. Namun, hasil fermentasi dengan metode ini sangat bergantung pada pengalaman petani, kondisi cuaca, dan variabel lain yang sulit dikontrol.
Akibatnya, kualitas biji kakao yang dihasilkan sering kali tidak seragam. Fermentasi yang tidak optimal akan menghasilkan rasa kakao yang asam, getir, atau flat—tentu saja berdampak pada harga jual di pasar internasional.
Fermentasi Terkontrol: Konsistensi Jadi Kunci
Untuk menjawab tantangan itu, metode fermentasi terkontrol mulai banyak dikembangkan. Proses ini melibatkan penggunaan peti kayu berlapis insulasi, sistem aerasi, bahkan sensor suhu dan pH untuk memastikan kondisi fermentasi berada dalam rentang optimal.
Menurut riset Puslitkoka, metode ini mampu meningkatkan kadar flavor precursors—senyawa pembentuk rasa khas cokelat—hingga 40% dibanding metode konvensional. Hasilnya? Kakao Indonesia yang biasanya dinilai grade C bisa naik kelas menjadi grade A, bahkan menembus pasar premium.
Namun, persoalannya kembali ke modal dan pelatihan. Tak semua kelompok tani mampu berinvestasi pada infrastruktur fermentasi terkontrol. Di sinilah peran pemerintah dan sektor swasta dibutuhkan untuk mendorong transfer teknologi secara massif.
Metode Alkalinisasi: Rasa Lebih Lembut, Tapi Ada Risiko
Satu lagi metode yang kerap digunakan di tingkat industri adalah alkalinisasi—yakni proses pengolahan biji kakao dengan larutan alkali untuk mengurangi keasaman dan meningkatkan warna cokelat yang lebih pekat. Teknik ini populer karena dapat meningkatkan palatabilitas produk akhir.
Namun, proses ini punya sisi gelap. Jika tidak dikontrol dengan baik, residu bahan kimia bisa merusak cita rasa alami kakao dan memunculkan kekhawatiran konsumen yang kini makin peduli pada keberlanjutan dan keamanan pangan. Maka, penggunaan metode ini harus sangat berhati-hati dan disertai standar mutu yang ketat.
Fermentasi Anaerob: Inovasi Ramah Lingkungan
Beberapa inovator di Sulawesi dan Papua mulai bereksperimen dengan metode fermentasi anaerob, yakni tanpa oksigen, menggunakan bioreaktor tertutup. Selain menghasilkan rasa yang unik dan konsisten, metode ini lebih ramah lingkungan karena mengurangi emisi gas dan limbah.
Meski masih dalam tahap pengembangan, fermentasi anaerob berpotensi menjadi masa depan pengolahan kakao Indonesia—lebih hijau, efisien, dan scalable.
Kesimpulan: Tidak Ada Satu Jawaban, Tapi Ada Jalan Tengah
Tak ada metode yang benar-benar sempurna. Pengolahan kakao terbaik bukan soal memilih satu metode dan menafikan yang lain, tapi bagaimana memadukan kekuatan masing-masing sesuai kondisi lokal. Bagi petani kecil, peningkatan mutu fermentasi tradisional lewat pelatihan dan pembinaan bisa jadi langkah awal. Bagi koperasi dan pelaku industri, investasi pada fermentasi terkontrol atau anaerob adalah pilihan strategis.
Sebagaimana tanaman kakao yang tumbuh subur dalam keberagaman hayati, industri pengolahan kakao pun butuh pendekatan yang adaptif, inovatif, dan inklusif. Jika itu bisa dilakukan, bukan tidak mungkin cokelat dari negeri ini akan menjadi bintang di panggung dunia.*
*Penulis: Muhammad Iqbal Abdi Lubis
Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, FakultasTeknologi Pertanian, Universitas Andalas