x

Secangkir Kopi, Seruput Terakhir?

4 minutes reading
Monday, 2 Jun 2025 15:31 0 295 Ika Lubis

BICARAINDONESIA-Jakarta : Indonesia selama ini dikenal sebagai salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia. Marak dan seksinya industri kopi membuat Indonesia tidak tinggal diam dalam perjudian ekspor kopi dunia. Terdata pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional, pada tahun 2022 lima negara penerima kopi asal Indonesia yakni Amerika, India, Mesir, Jerman, dan Malaysia. Mulai dari aroma kopi robusta Lampung hingga kekayaan rasa arabika Toraja dan Gayo, menjadikan kopi bukan hanya sekedar komoditas ekonomi, tetapi juga identitas budaya. Akan tetapi, keberlanjutan budidaya kopi mengalami ketidakpastian bagi para petani, akibat perubahan iklim skstrim yang terjadi secara global.

Kopi di Tengah Gejolak Iklim

Kajian literatur telah banyak mengemukakan jika kopi dapat tumbuh baik pada iklim subtropis – tropis untuk Arabika, sebaliknya pada iklim tropis – subtropis bagi varietas Robusta dan Liberika. Akan tetapi, perubahan iklim tak hanya menjadi tajuk utama dalam diskursus lingkungan global, tetapi juga ancaman nyata terhadap salah satu komoditas perkebunan paling ikonik dunia: kopi. Indonesia, sebagai produsen kopi terbesar keempat dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia, kini menghadapi tantangan serius dalam menjaga produktivitas dan kualitas kopinya.

Kopi arabika, yang telah menyumbang sekitar 25% dari total produksi kopi Indonesia, dikenal sensitif terhadap perubahan suhu dan pola curah hujan. Data dari Intergovern mental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa peningkatan suhu global sebesar 1,5 hingga 2 derajat Celsius dapat memangkas area budidaya kopi arabika hingga 50% pada 2050. Pada dataran tinggi Gayo, Toraja, dan Bajawa—sentra produksi arabika Indonesia—petani mulai merasakan ketidakpastian musim tanam dan panen, serangan hama seperti penggerek buah kopi yang makin intensif, serta anomali pembungaan akibat suhu malam yang tak lagi stabil.

Menyadari hal itu, petani kopi tak tinggal diam. Tersebar dibanyak wilayah, mereka mulai beralih ke teknik budidaya yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim. Beberapa metode diversifikasi tanaman naungan, penggunaan varietastahan penyakit, serta praktik agroforestri menjadi respon sekologis sekaligus ekonomis. Lembaga riset seperti Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia) juga telah memperkenalkan varietas baru yang lebih toleran terhadap suhu tinggi dan memiliki produktivitas lebih stabil.

Penggunaan dan penerapan teknologi telah turut mengubah lanskap budidaya. Aplikasi teknologi seperti pemantauan cuaca, sistem irigasi tetes berbasis sensor, serta pemetaan lahan dengan drone membantu petani mengambil keputusan yang lebih presisi. Adapun sistem pascapanen seperti honey process dan natural drying yang sebelumnya eksklusif bagi specialty coffee kini mulai dikembangkan sebagai strategi meningkatkan nilai tambah dan ketahanan harga di tengah fluktuasi pasar. Namun, adaptasi semacam ini membutuhkan dukungan nyata dari negara. Petani, terutama di daerah-daerah terpencil, memerlukan akses terhadap pelatihan, pendanaan, dan jaminan harga yang layak. Tanpa keberpihakan kebijakan, inovasi akan hanya menjadi wacana yang tak menyentuh akarpersoalan.

Proyeksi: Menggenggam Harapan, Menjaga Ekosistem

Masa mendatang, kopi bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal ekosistem. Proyeksi pasar kopi dunia justru menunjukkan tren naik. Data dari International Coffee Organization (ICO) memprediksi permintaan kopi global akan meningkat sekitar2% per tahun hingga 2030, didorong oleh pasar-pasar baru seperti Asia Selatan dan Afrika. Hal ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya, tidak semata sebagai eksportir bahan mentah, tetapi sebagai produsen kopi berkualitas yang menjejakkan prinsip keberlanjutan.

Tanpa intervensi serius, proyeksi produksi kopi global bisa merosot tajam. Studi yang diterbitkan di jurnal Nature Plants (2022) memprediksi bahwa lebih dari 50% lahan ideal untuk arabika bisa hilang pada 2050 jika tren pemanasan global tidak dikendalikan. Bagi Indonesia, ini berarti risiko kehilangan bukan hanya potensi ekspor, tapi juga penghidupan jutaan petani kecil. Namun bukan berarti masa depan kopi suram sepenuhnya. Justru di tengah krisis ini, peluang transformasi terbuka lebar. Kopi spesialti (specialty coffee) yang berfokus pada kualitas dan keberlanjutan mulai tumbuh sebagai segmen pasar baru. Konsumen global kini mencari lebih dari sekadar rasa, tetapi juga cerita di balik secangkir kopi: bagaimana ia ditanam, siapa yang memanennya, dan apakah prosesnya ramah lingkungan. Inisiatif seperti Rainforest Alliance dan Fair Trade menjadi jembatan penting antara petani dan konsumen sadar iklim. Sementara itu, pendidikan dan regenerasi petani menjadi isukrusial lainnya. Petani muda harus didorong untuk melihatkopi bukan sebagai warisan semata, tetapi sebagai ruang inovasi yang penuh kemungkinan.

Jika perubahan iklim adalah tantangan besar, maka kopi bisa menjadi alat transformasi sosial dan ekologis. Melalui pengelolaan lanskap berkelanjutan, pelibatan generasi muda, serta diplomasi kopi sebagai warisan budaya Nusantara, kita tidak hanya menyelamatkan secangkir kopi hari ini, tetapi juga menjaga bumi bagi generasi mendatang. Perjalanan kopi Indonesia adalah kisah tentang alam, manusia, dan perubahan. Saat suhu terus naik dan siklus alam bergeser, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: mampukah kita menjaga harmoni antara rasa dan rimba? Jawaban atas pertanyaan itu tak hanya bergantung pada petani di lereng bukit, tetapi juga pada kita semua—pemangku kebijakan, konsumen, dan pegiat lingkungan—untuk terus menyeduh masa depan yang lebih berkelanjutan.*

*Penulis: Muhammad Iqbal Abdi Lubis

Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, FakultasTeknologi Pertanian, Universitas Andalas

LAINNYA
x
error: Content is protected !!